WAJAHNUSANTARAKU.COM, Jakarta - Selasa, 16 Desember 2018, di Gedung Sasono TMII digelar
Mubes Pers Indonesia. Hajat masyarakat pers itu dihadiri 2000 an peserta
dari perwakilan media massa maupun organisasi pers di Indonesia. Mubes
juga mengemban misi ; membentuk Dewan Pers Independen, menyusul
penilaian masyarakat pers (baca ; setidak-tidaknya peserta mubes)
terhadap Dewan Pers yang dinilai tak demokratis serta tak
merepresentasikan penghormatan terhadap kebebasan pers itu sendiri. Beberapa tindakan dan kebijakan Dewan Pers, yang saya ketahui antara
lain adalah ungkapan “media abal-abal” yang acap digulirkan komisioner
Dewan Pers, penerapan standar kompetensi wartawan mengarah kepada
kewajiban bagi warga negara yang menjalankan fungsi pers untuk mengikuti
uji kompetensi wartawan, serta verifikasi terhadap badan hukum yang
bergerak dalam bidang roda usaha (bisnis) pers. Sikap Dewan Pers
tersebut dinilai melampauai kewenangannya.
Dewan Pers, acap membenturkan tindakannya dengan argumentasi untuk
melindungi pers dari para penumpang gelap kemerdekaan pers. Muncul
jargon ; Insan pers harus profesional, yang ukuran profesionalitasnya
didasarkan pada lulus tidaknya mereka dalam pelaksanaan uji kompetensi
wartawan. Jargon ini merangkul kuat upaya kepolisian menjerat wartawan
dengan sarana hukum pidana. Disebabkan jargon itu pula, dimensi tentang
masalah hukum kasus-kasus pers bukan lagi terpatri kepada norma yang
bertumpu kepada isu kebebasan berpikir, kebebasan untuk berekspresi,
mencari dan menyebarkan informasi bertalian dengan unsur-unsur
kepentingan umum sebagaimana bagian dari perlindungan HAM.
Tak ayal, Pemahaman sempit itu pada gilirannya berdampak kontraproduktif terhadap upaya memperjuangkan demokrasi, upaya untuk menghormati HAM bertalian dengan penyaluran hak atas kebebasan untuk berbicara, kebebasan berekspresi yg termanivestasi dlm freedom of the press. Masalah profesionalitas, karena hakikat dari pelaksanaan fungsi pers merupakan manivestasi yang bersentuhan dengan hak asasi alamiah manusia maka penerapan aturan administrasi hendaknya jgn sampai menjadi faktor penghambat bagi setiap subjek hukum dlm menyalurkan haknya dimaksud.
Mubes Pers, kiranya menjadi titik anjak proses berdemokrasi bagi kalangan insan pers sekaligus upaya memecah dan mencari solusi persoalan pers yang kini berada di persimpangan jalan.
Tak ayal, Pemahaman sempit itu pada gilirannya berdampak kontraproduktif terhadap upaya memperjuangkan demokrasi, upaya untuk menghormati HAM bertalian dengan penyaluran hak atas kebebasan untuk berbicara, kebebasan berekspresi yg termanivestasi dlm freedom of the press. Masalah profesionalitas, karena hakikat dari pelaksanaan fungsi pers merupakan manivestasi yang bersentuhan dengan hak asasi alamiah manusia maka penerapan aturan administrasi hendaknya jgn sampai menjadi faktor penghambat bagi setiap subjek hukum dlm menyalurkan haknya dimaksud.
Mubes Pers, kiranya menjadi titik anjak proses berdemokrasi bagi kalangan insan pers sekaligus upaya memecah dan mencari solusi persoalan pers yang kini berada di persimpangan jalan.
Namun disayangkan, lika-liku perjuangan menggapai sasaran negara
demokratis masih jauh dari ideal. Bahkan ketika ujian untuk bersikap
demokratis itu tiba-tiba menghujam di acara Mubes, sikap tak elok muncul
di tengah hajat memperjuangkan demokrasi itu sendiri. Cerminan sikap
anti demokrasi itu muncul tatkala terdengar “kicauan” politik “Ganti
Presiden” dari mulut Egy Sudjana.
Kicauan Egy, mungkin juga dianggap tidak pada tempatnya. Namun juga terlalu naif, bila tak dimungkinkan terjadi keterkiliran sikap politik di tengah hamparan ruang yang diisi para punggawa demokrasi itu. Hal yang lumrah dan maklum kiranya di sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sekalipun penolakan tersebut dihadapkan dengan isu posisi netralitas media.
Dalam pada itu, menurut saya, pengembanan tugas menjaga netralitas bukan didasarkan pada kecenderungan sikap politik para penggiat media yang bersangkutan, tetapi didasarkan pada bagaimana menjalankan objektifitas hukum secara nyata. Dengan demikian, perbedaan pandangan politik maupun perbedaan lainnya tetap dapat disikapi secara demokratis, sebagaimana ungkapan Voltaire yang menjadi kerangka filosofi dalam kebebasan berekspresi ; “I detest what you write, but I would give my life to make it possible for you to continue to write”. Kalimat tersebut diparafrasekan lagi menjadi : “I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it ”.
Kicauan Egy, mungkin juga dianggap tidak pada tempatnya. Namun juga terlalu naif, bila tak dimungkinkan terjadi keterkiliran sikap politik di tengah hamparan ruang yang diisi para punggawa demokrasi itu. Hal yang lumrah dan maklum kiranya di sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sekalipun penolakan tersebut dihadapkan dengan isu posisi netralitas media.
Dalam pada itu, menurut saya, pengembanan tugas menjaga netralitas bukan didasarkan pada kecenderungan sikap politik para penggiat media yang bersangkutan, tetapi didasarkan pada bagaimana menjalankan objektifitas hukum secara nyata. Dengan demikian, perbedaan pandangan politik maupun perbedaan lainnya tetap dapat disikapi secara demokratis, sebagaimana ungkapan Voltaire yang menjadi kerangka filosofi dalam kebebasan berekspresi ; “I detest what you write, but I would give my life to make it possible for you to continue to write”. Kalimat tersebut diparafrasekan lagi menjadi : “I disapprove of what you say, but I will defend to the death your right to say it ”.
Penulis : Dr. Ibnu Mazjah, S.H., M.H.
(Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Mathlaul Anwar, Banten)
0 Response to "Refleksi Mubes Pers Indonesia : Belajar untuk Berdemokrasi"
Post a Comment
1.Berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan
2.No SPAM, No Live link , No Sara , No P*rn
3.Untuk Blogwalking / Mencari Backlink bisa Menggunakan OPENID , Name URL
Komentar yang tidak sesuai dengan isi Konten , Akan Langsung di Delete.