Menjual Politik Kebencian



WAJAHNUSANTARAKU.COM, Jakarta – Menjual politik kebencian itu kalimat yang paling pas menurut saya untuk menggambarkan situasi politik 2017, 2018, dan puncaknya Pilpres 2019. Tahun 2017 adalah tahun politik kebencian kata Direktur Esekutif Amnesty International Indonesia. Usman Hamid mengatakan politik kebencian di Indonesia mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit “oleh aktor negara dan non negara  yang mengajak pengikut mereka yang dianggap berbeda,”  kata Usman saat konfrensi pers di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/02/2018).

Usman membagi menjadi lima golongan yang berbeda yakni anti-Islam, Islamis yang anti nasionalis, separatis, komunis dan homophobis.

Untuk anti – Islam, Usman mencontohkan pada Pilkada DKI 2017. Menurut Usman, vonis yang diterima oleh Basuki Tjahaja Purnama merupakan produk politik kebencian yang akan  tercatat dalam sejarah HAM  Indonesia. Usman mengatakan lawan politik Ahok menggunakan sentimen anti-Islam untuk memenjarakan Ahok.

“Pimpinan kelompok seperti FPI, Riziq Shihab menggunakan retorika kebencian untuk menggerakkan massa agar mendorong polisi memproses hukum Ahok atas tuduhan menista agama,” kata Usman.
Potret Pilkada DKI 2017 merupakan referensi untuk memprediksi situasi yang akan datang (analysis past, present, and future).
Saya akan coba memotret lagi jauh kebelakang untuk menemukan benang merah politik kebencian yang kerap digunakan sebagai strategi memenangkan pertarungan politik.

Era Soekarno

Pada masa  merebut kemerdekaan Soekarno dalam orasi politiknya juga menggunakan ujaran kebecian pada bangsa asing seperti; Ganyang Malaysia, Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, lawan imperialisme, dan banyak slogan lainnya. Tapi faham yang dipakainya adalah Nation building, character building, kalimat ini selalu dipakai dalam pidatonya untuk mempersatukan anak bangsa yang sudah terpecah pecah akibat politik devita et ampera yang sudah diterapkan ratusan tahun di seluruh Nusantara.
Kita lihat potret Pemilu 1955, siapa dan partai apa yang memperoleh suara terbanyak pada masa itu.

Hasil Pemilu 1955

1.      PNI          119 Kursi   
2.      Masyumi  112 Kursi
3.      NU               91 Kursi
4.      PKI               80 Kursi

Dalam sejarah politik tercatat bahwa Pemilu tahun 1955 paling demokratis, juga dicatat keamanan diganggu oleh DI/TII (Darul Islam) Tentara Islam Indonesia dibawah pimpinan Karto Soewiryo. Polisi dan TNI ikut memilih pada Pemilu 1955.
Jumlah kursi yang diperebutkan 260, kursi konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR)  ditambah 14 kursi wakil dari golongan minoritas. Pemilu tidak dilanjutkan pada tahun 1960. Hal ini diakibatkan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.

Walaupun dalam sejarah politik Soekarno banyak yang Otoritarian, kontroversial seperti Politik NASAKOM, perlu dicatat dan diingat Politik menyatukan anak bangsa Nation Building, Nawacita, dan politik luar negrinya the new emerging force, KTT Non Blok, Ganefo yang dikagumi diseluruh dunia pantas disebut bapak bangsa dan the Faunding Father.

Era Suharto
Pemilu pada masa kekuasaan Presiden Suharto disebut era orde baru diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masa-masa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno.

Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak membuatnya melegitimasi kekuasaanya pada masa transisi.

Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan "pembersihan" lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.

Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa dilengsengserkan 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan.

Pada masa tersebut ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan era Soekarno, di mana Undang Undang yang diadakan adalah Undang Undang tentang pemilu dan susunan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.

Dalam UU itu pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral, tidak seperti Pemilu 1955 yang memperbolehkan pejabat negara, termasuk perdana menteri dari partai untuk ikut menjadi calon partai secara formal.

Tetapi pada praktiknya Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Golkar memasukkan tiga unsur yang disebut ABG (ABRI, Birokrat, dan Golongan). Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu.

Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda juga dengan Pemilu 1955.

Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No.15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ampuh untuk mengurangi jumlah partai peraih kursi.

Dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.

Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Enam tahun berikutnya yakni tahun 1977, pemilu ketiga dilaksanakan. Setelahnya pemilu selalu berlangsung setiap lima tahun sekali.

Berbeda dengan pemili-pemilu sebelumnya, sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, hanya terdiri atas dua paorpol dan satu Golkar. Hal tersebut imbas penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan pemerintah bersama DPR, dengan membuat UU No.3 Tahun 1975 tetntang Partai Politik dan Golkar.

Kedua partai adalah Partai Pesatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. UU No.3 itu diimplementasikan hingga pemilu tahun 1997.

Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya sekedar pelengkap atau ornamen belaka. Ibarat Golkar sudah ditetapkan menjadi pemenang sejak Pemilu 1971.

Keadaan ini secara langsung dan tidang langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar mendapat dukungan birokrasi dan militer.

Puncaknya Soeharto dilengserkan rakyat pada 21 Mei 1998 karena ketidakadilan sistem pemerintahan yang diterapkan Soeharto selama masa orde baru.

Kembali pada topik bahasan kita apakah ada politik kebencian pada era Soeharto? dari catatan sejarah yang direkam masyarakat dan media ada yaitu pertama pembersihan pada orang yang dianggap dekat dan sealirah dengan Soekarno, sering kali dipublikasi di media bahaya laten komunisme, marxisme, leninisme, dan Partai PKI sudah dilarang dan masuk dalam UU.  Ada juga yang meneriakkan faham marhaenisme sebagai gagasan Soekarno dan Idiologi yang diapakai partai terkuat pada masa Soekarno yaitu Partai Nasionalis Indonesia.

Tercatat juga dalam sejarah peritiwa Kudatuli (Kerusuhan duapuluh tujuh Juli)peristiwa 27 Juli 1996, terbelahnya PDI menjadi dua kubu yaitu kubu Ketum PDI versi Kongres Medan Soerjadi dan kubu Megawati Soekarno Putri.

Pada era orde baru semua kegiatan politik diawasi secara ketat baik kelompok kiri dan kanan mati kutu, yang nekat pasti masuk bui.
Dari potret ini dapat kita lihat kelompok mana yang lari terbirit birit hijrah ke Malaysia pada masa pak Harto berkuasa kemudian muncul lagi dan mulai mengibarkan benderanya secara leluasa hingga Jokowi menghentikan gerakannya melalui UU Ormas.

Ujaran kebencian terhadap etnis minoritas Tionghoa pun diledakkan pada Amok Massa 13-15 Mei 1998 tempat usaha dan rumah etnis Tionghoa dibakar, di jarah, dan tercatat juga pada Komnas HAM ada wanita diperkosa, dan lelaki dianiaya dan dibakar sayapun sangat dirugikan pada peristiwa ini saya sedang memperbaiki personal computer dan printer saya di Glodok Jakarta Pusat, saya hanya melihat dari kejauhan ketika pertokoan di Glodok dan sekitarnya habis terbakar.

Tulisan ini akan sangat panjang bila membahas Mantan Ptesiden Era Reformasi pasca Lengsernya Suharto. Era BJ Habibie ada gebrakan demokrasi berupa reformasi politik, reformasi hukum, dan reformasi ekonomi. Reformasi politik luar biasa ada 48 parpol yang ikut Pemilu 1999. Dengan terbesar sbb 1. PDIP : 153 Kursi, 2. Golkar: 120 Kursi, PKB: 51 Kursi, PPP:48 Kursi, PAN: 34 Kursi.

Menurut pendapat saya bukan hanya kebijakan referendum Timor Timur yang banyak disesalkan masyarakat khususnya para pejuang Seroja, tetapi kebijakan Pencabutan Keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR No.XVIII/MPR/1998). Hal ini memberikan peluang kelompok oportunis untuk masuk dan menyebarkan idiologi alternatif untuk kaum awam tetapi jalan masuk untuk kelompok DI/TII yang pada tahun 1955 menjadi outlier karena tidak setuju dengan NKRI. Bukti dan hasil survei BPS terbaru banyak kaum muda atau zaman Now yang tidak setuju dengan idiologi Pancasila. 

Sepuluh tahun lalu saya dan kawan berdiskusi di Lemhanas ada target kelompok radikal yang masuk pada tahun 1998 merencanakan waktu 20 tahun untuk menanamkan pengaruh dan jaringannya di Indonesia mereka masuk dan ada diseluruh lapisan masyarakat, guru, dosen, birokrat, pejabat. Bukankah 20 tahun sejak masuk di Indonesia tahun 1998 itu adalah Tahun 2018. Tahun Politik 2018, melihat sejarah politik Indonesia sejak jaman Soekarno terbukti anak bangsa ini cukup cerdas melawan agresi dari luar, entah itu dari barat, timur, timur-tengah, entah masuk melalui perdagangan, politik, dan agama. Indonesia cukup tangguh menghadapinya.

Pemerintahan Jokowi - JK harus gencar mengadakan seminar, pencerahan bagi masyarakat luas di semua lini harus digerakkan dan di mobilisasi, sekolah, kampus, ormas, ulama, tempat ibadah, dan Departemen untuk menahan perkembangan kelompok anti keberagaman, anti Pancasila. Kondisi ini telah diabaikan hampir 20 tahun, mereka bertumbuh subur, mereka secara bebas mengatakan NKRI adalah Negara Kafir Republik Indonesia dan ingin merubahnya menjadi Negara Khilafah Republik Indonesia.


BACA : POLITIK KEBENCIAN DI BERITAKAN THE WASHINGTON POST





0 Response to "Menjual Politik Kebencian"

Post a Comment

1.Berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan
2.No SPAM, No Live link , No Sara , No P*rn
3.Untuk Blogwalking / Mencari Backlink bisa Menggunakan OPENID , Name URL

Komentar yang tidak sesuai dengan isi Konten , Akan Langsung di Delete.