Wartanusantaraku.com, Jakarta – Begitu sering
terucap bahwa hukum hanya mampu menjangkau orang-orang kecil dan tidak
mempunyai kemampuan ekonomi, tetapi tidak mempunyai daya bila berhadapan
dengan sosok berpangkat. Ketika rakyat jelata menghadapi persoalan
hukum, hanya ketidakberdayaan yang bisa didapat dan nyaris tidak ada
orang lain yang akan mengulurkan tangan.
Berbeda apabila seseorang yang mempunyai kedudukan dan memiliki
pengaruh dihadapkan kepada persoalan hukum, sikap melawan dan
menampilkan diri sebagai sosok yang seolah tidak tersentuh hukum. Lebih
ironi apabila seorang yang berpredikat penegak hukum malah
memperlihatkan pembangkangan terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Kesan itulah yang bisa ditangkap ketika seorang polisi berpangkat
bintang tiga tidak mematuhi panggilan penegak hukum. Komisaris Jenderal
Polisi Budi Gunawan, perwira tinggi polisi itu, tidak memenuhi panggilan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan memeriksanya sebagai
tersangka dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi.
Budi, calon kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sudah
disetujui lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh para wakil rakyat di
Senayan, tak juga kunjung dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai
orang nomor satu korps Bhayangkara. Tentu bagi Budi Gunawan, seperti
disampaikan oleh penasihat hukumnya, ada bermacam dalil yang bisa
dikemukakan sebagai alasan ketidakhadirannya memenihi panggilan KPK.
Selain mempersoalkan subtansi pemanggilan KPK, sang jenderal polisi
mempertanyakan pula format surat pemanggilan. Publik tidak bisa
mengetahui secara persis apa yang menjadi alasan Budi yang telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan tuduhan menerima
gratifikasi sewaktu menjabat kepala Biro Pembinaan Karir Polri pada 2003
hingga 2006. Jelas, tersangka serta kuasa hukumnya tidak akan
mengada-ada untuk sekadar mencari alasan mangkir dari pemanggilan
lembaga penegak hukum.
Untuk kesekian kalinya, rakyat di negeri ini dipertontonkan sikap
pembangkangan dari sosok yang semestinya tidak menempatkan diri seakan
sebagai orang yang berdiri di atas hukum. Persamaan di hadapan hukum
merupakan asas yang berlaku di belahan bumi mana pun.
Dengan asas equality before the law berarti setiap orang, tanpa
melihat status sosial atau posisinya sebagai penguasa sekalipun, tidak
boleh membentengi diri ketika hukum mengharuskannya untuk berbuat
sesuatu. Dengan begitu, seorang pembesar atau jenderal pun, seturut
peradaban hukum, tidak ada yang kebal terhadap hukum.
Ketidakhadiran Budi Gunawan memenuhi panggilan KPK sebagai tersangka,
sesungguhnya tidak bisa dipersepsikan sebagai pembangkangan semata. Ada
ego sektoral bahwa Polri lebih superior dibanding dengan KPK yang baru
satu dekade lebih usianya.
Ketentuan dalam hukum acara pidana memberikan penegak hukum dua kali
lagi untuk memanggil seseorang yang diperlukan keterangannya sebagai
saksi atau tersangka. Setelah pemanggilan kedua tidak juga dipenuhi,
masih ada kesempatan terakhir dengan upaya pemanggilan paksa.
Kelaziman dalam praktik, pemangilan paksa oleh penegak hukum akan
diperkuat oleh polisi untuk membawa saksi atau tersangka ke hadapan
penyidik. Dalam kasus Budi Gunawan, calon tunggal Kapolri yang menunggu
dilantik, akankah personel Polri bisa leluasa mendatangi jenderalnya dan
membawanya ke gedung KPK?
Substansi persoalan tidak hanya mengenai upaya untuk memanggil paksa,
tapi lebih dari itu adalah pembelajaran yang diberikan kepada
masyarakat luas. Apabila seorang petinggi Polri tidak bersedia memenuhi
panggilan penegak hukum, tidak mustahil sikap itu akan dituruti oleh
bawahannya.
Sebagai seorang perwira tinggi polisi, sepatutnya Budi Gunawan mau
bersikap koperatif memenuhi panggilan sesama penegak hukum tanpa harus
bersikap menantang dan mencari berbagai dalil penolakan. Kendati
diperiksa dan berstatus tersangka, dia tetap mempunyai hak untuk
membuktikan tidak melakukan perbuatan yang disangkakan.
Memang, undang-undang tidak memberikan kewenangan kepada KPK untuk
menghentikan pengusutan kasus Budi dengan mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan atau SP3. Konsekuensi dari larangan itu, sekali
ditetapkan sebagai tesangka maka pasti akan duduk di hadapan majelis
hakim untuk diperisa sebagai terdakwa.
Seorang perwira tinggi sepatutnya tidak hanya tampil gagah dengan
pakaian dinas lengkap dengan bermacam tanda jasa, tapi lebih elegan bila
dengan gagah datang memenuhi panggilan sesama penegak hukum. Meski
nyaris tidak ada peluang bagi tersangka untuk lepas dari jerat hukum
dalam proses penyidikan di KPK, namun hukum memberikan peluang bagi dia
untuk menangkis tuduhan dengan bukti-bukti yuridis dalam proses
persidangan.
Di sidang nantilah, setiap terdakwa diberikan ruang oleh
undang-undang untuk membuktikan bahwa dia tidak layak untuk dijatuhi
hukuman. Hakim pun akan menilai segala dalil dan bukti-bukti yang dibawa
oleh terdakwa untuk menangkis dakwaan.
Sumber : Suara Pembaruan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
makasih informasinya
ReplyDeleteartikel yang agan posting ini sungguh bermanfaat dapat membantu menambah wawasan kami.. terimakasih banyak.
ReplyDelete